Definisi Al Fana’, Al Baqa’ dan Ittihad Penjelasan Lengkap
Kaum sufi menempuh jalan tasawuf dengan tujuan tunggal yaitu menginginkan Allah semata. Perjalanannya melalui maqamat dan ahwal dalam mujahadah dan riyadah yang terus menerus, pada akhirnya sufi akan sampai pada tingkat mahabbah. Pada akhirnya cinta itupun dibalas oleh Allah dengan cara membuka tabir dari mata hatinya sehingga sufi akan berusaha lebih dekat lagi dengan Allah SWT dengan memperbanyak ibadah dan zikir, sehingga mereka akan sampai pada tingkat fana’, baqa’ dan kemudian ittihad. Pada tingkatan tersebut sufi sudah mengalami fase terakhirnya.
Abu Yazid al-Bistami merupakan sufi pertama yang mengusung
konsep fana’, baqa’ dan ittihad. Dengan menggunakan sedikit pemaparan di atas, penjelasan dibawah ini akan mencoba menguak tentang Abu Yazid al-Bistami beserta ajarannya mengenai fana’, baqa’ dan ittihad. Mulai dari pengertian mengenai fana’, baqa’ dan ittihad sendiri, lalu biografi dari Abu Yazid al-Bistami kemudian pandangan Al Quran mengenai ajaran fana’, baqa’ dan ittihad.
Pengertian Al Fana'
Al Fana’ menurut pengertian bahasa berasal dari fana-yafni-fana’ yang memiliki arti hilang hancur.(1) Fana' dalam pengertian istilah merupakan suatu tingkatan pengalaman spiritual sufi yang tertinggi menjelang ke tingkat ittihad yaitu persatuan mistis antara sufi dan Tuhan.Fana’ dalam istilah tasawuf, ada kalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Hal ini semakin jelas dalam definisi yang di kemukakan Al-Qusyairi “sirnanya sifat-sifat tercela”. Lebih lanjut ia menambahkan dengan hilangnya sifat-sifat tercela tersebut, dengan diisi sifat-sifat terpuji.(2)
Jadi dengan demikian yang dimaksud fana’ bukan diartikan sebagai hilangnya diri (meninggal) namun hilang disini diartikan sebagai hilangnya sifat buruk di dalam diri seseorang dan diganti dengan sifat baik yang melekat di dalam diri seorang hamba.
Di dalam pengalaman fana’, sufi tidak lagi menyadari dirinya serta seluruh makhluk, dalam kesadarannya yang ada hanyalah Allah. Namun tidak berarti bahwa seseorang yang mengalami fana’ akan tidak peduli terhadap sesama manusia, mereka tetap memiliki nilai-nilai kemanusiaan.
Pengertian Al Baqa'
Al Baqa' menurut pengertian bahasa berasal dari baqiya-yabqa-baqa' yang berarti al-dawam atau terus menerus, ada terus, terus hidup, tidak lenyap dan tidak hancur.(3) Al Baqa’ berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah atau kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia.
Namun konsep al-fana’ tidak dapat dipisahkan oleh Al-Baqa’. Keduanya merupakan konsep yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juka ia sedang menjalani baqa’.
Pengalaman fana’ dan baqa’ teraktualisasi dalam beberapa ucapan yang dilontarkan seperti, “Aku tahu Tuhan melalui diriku hingga aku fana’ kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup”, Ia membuatku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian ia membuat aku gila pada-Nya dan akupun hidup maka aku berkata, gila pada diriku adalah fana dan gila pada diriku adalah baqa. Aku mimpi melihat Tuhan lalu aku bertanya, Tuhanku apa jalannya untuk sampai kepada-Mu? Ia menjawab, tinggalkanlah dirimu dan datanglah padaku”.(4)
Pengertian Ittihad
Ittihad secara bahasa mengandung pengertian persatuan, pengalaman menyatu atau kebersatuan. Dalam terminologi tasawuf berarti suatu tingkatan dimana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana antara yang mencintai dengan yang dicintai menyatu. Lebih lanjut disebutkan, bahwa segala sesuatu yang ada ini dilihat sebagai wujud yang satu itu sendiri. Pada saat itu, maka yang dilihat bahwa wujud hamba adalah wujud Tuhan itu sendiri, demikian pula sebaliknya.(5)
Jadi, meskipun sebenarnya yang dilihat adalah dua wujud namun sufi pada tingkatan ini akan mengatakan ia melihat hanya dalam satu wujud yakni Allah, karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud.
Tokoh Pengembang Al Fana’, Al Baqa’ dan Ittihad
Abu Yazid al-Bistami adalah seorang sufi terkemuka pada abad III H. Ia disebut sebagai sufi yang memperkenalkan konsep fana, baqa dan ittihad dalam pengertian tasawuf. Literatur-literatur tasawuf sering menyebut namanya Bayazid al-Bistami. Ia dilahirkan disebuah kota kecil bernama Bistam, daerah Timur Laut Persia pada tahun 188 H/ 804 M.(6)
Abu Yazid adalah orang Parsi asli yang mempunyai nama lengkap Taifur ibn Isa ibn Sarusyan. Kakeknya Sarusyan pada mulanya adalah penganut Zoroaster yang kemudian masuk Islam. Ayahnya termasuk pemuka msyarakat di Bistam dan ibunya adalah seorang yang taat dan zuhud. Dua orang saudaranya Ali dan Adam termasuk sufi juga namun tak setenar Abu Yazid. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Ilmu yang ia gemari adalah fiqh dalam madzhab Hanafi. Sedangkan dalam ilmu tasawuf ia belajar dari orang Sufi yang berasal dari Kurdi.(7)
Ia terpaksa meninggalkan kota kelahirannya beberapa waktu lamanya untuk menghindari tekanan ulama mutakallimin yang memusuhinya. Kehidupan zuhud yang dijalani olehnya menimbulkan cinta yang
semakin besar dan mendalam hingga menghanyutkan dirinya tenggelam kedalam lautan zuhud. Abu Yazid mengatakan pada suatu ketika: “Saya melakukan mujahadah selama tiga tahun, tidak saya dapati sesuatu yang lebih berat kecuali ilmu dan mengikuti ilmu. Seandainya tidak ada perbedaan ulama niscaya saya akan baqa”. Abu Yazid juga mengatakan bahwa pengamalan ilmu tasawuf tidak dibenarkan untuk meninggalkan perintah Tuhan.(8)
Dan seorang pengenal tasawuf harus memiliki guru atau pembimbing, jika ia tidak memiliki maka imamnya atau gurunya adalah setan.(9) Abu Yazid masuk ke dalam kelompok sufi yang cenderung rendah
diri atau menghinakan serta mencercanya dalam rangka memurnikan pendekatan kepada Tuhan. Ajaran tasawufnya dikembangkan para pengikutnya dengan membentuk suatu aliran tarekat yang bernama Taifuriah yang dinisbatkan kepada namanya. Penganut tarekat ini masih bias ditemui di Zoustan, Maghrib yang meliputi Maroko, al-Jazair dan Tunisia, sampai ke Bangladesh, berupa tempat-tempat suci yang dibangun untuk memuliakannya.(10)
Abu Yazid meninggal dunia di Bistam pada tahun 261 H/784 M. Hingga akhir hayatnya ia ternyata tidak meninggalkan karya tulis yang dapat dipelajari. Namun ia mewariskan sejumlah ucapan yang diungkapkan mengenai pengalaman spiritualnya yang disampaikan oleh murid-muridnya. Diantara pengalaman-pengalamannya tercover dalam sejumlah karya tulis seperti al-Nur min Klaimati Abi Taifur oleh Shalaji, al-Luma oleh al-Tusi, dan lain sebagainya.(11)
Pandangan Al-qur’an Yerhadap Al-Fana’, Al-Baqa’ Dan Ittihad
Faham Fana dan Baqa yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh sufi sebagai sejarah dengan konsep liqa al-rabbi menemui Tuhan.(12) Fana’ dan baqa’ merupakan jalan menuju berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah surat Al-kahfi ayat 110 yang berbunyi:
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
قُلْ اِنَّمَاۤ اَنَاۡ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰۤى اِلَيَّ اَنَّمَاۤ اِلٰهُكُمْ اِلٰـهٌ وَّا حِدٌ ۚ فَمَنْ كَا نَ يَرْجُوْا لِقَآءَ رَبِّهٖ فَلْيَـعْمَلْ عَمَلًا صَا لِحًـاوَّلَايُشْرِكْ بِعِبَا دَةِ رَبِّهٖۤ اَحَدًا
qul innamaaa ana basyarum mislukum yuuhaaa ilayya annamaaa ilaahukum ilaahuw waahid, fa mang kaana yarjuu liqooo`a robbihii falya'mal 'amalang shoolihaw wa laa yusyrik bi'ibaadati robbihiii ahadaa
Artinya: "Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya."
(QS. Al-Kahf 18: Ayat 110)
Paham ittihad ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata: “Ya Tuhan, bagai mana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman: Tinggalah dirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu).
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah SWT telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniyah atau batiniyah, yang caranya antara lain dengan beramal shaleh, dan beribadah semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak buruk (fana’), meninggalkan dosa dan maksiat dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah yang kemudian ini tercakup dalam konsep Fana dan Baqa.
Kesimpulan
Faham fana’, baqa’ dan ittihad dicetuskan oleh Abu Yazid al-Bistami seorang sufi terkemuka pada abad III H. Ajaran tasawufnya dikembangkan para pengikutnya dengan membentuk suatu aliran tarekat yang bernama Taifuriah yang dinisbatkan kepada namanya. Penganut tarekat ini masih bias ditemui di Zoustan, Maghrib yang meliputi Maroko, al-Jazair dan Tunisia, sampai ke Bangladesh.
Ajaran Fana’ sendiri bukan diartikan sebagai hilangnya diri (meninggal) namun hilang disini diartikan sebagai hilangnya sifat buruk di dalam diri seseorang dan diganti dengan sifat baik yang melekat di dalam diri seorang hamba.
Sedangkan Al Baqa’ berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah atau kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Keduanya tak bias dipisahkan karena saling berkaitan untuk dapat mencapai Ittihad.
Ittihad sendiri adalah suatu tingkatan dimana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana antara yang mencintai dengan yang dicintai menyatu.
Footnote
(1) M. Alfatih Suryadilaga, Ilmu Tasawuf, (Yogyakarta: Kalimedia, 2016), hlm. 150.
(2) Depag. RI, Ensikolpedi Islam, Jilid I (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 272.
(3) Suryadilaga, ilmu Tasawuf…, hlm. 150
(4) Depag RI, Ensiklopedi Islam…, hlm. 60.
(5) Ris’an Rusli, Tasawuf Dan Tarekat, (Jakarta: Rajawali Press,2013), hlm. 90-96
(6) Depag RI, Ensiklopedi Islam…, hlm. 59.
(7) A. Hafidh Dasuki, dkk. Ensiklopedi Islam, jilid I, (Jakarta: Van Hoeve, 1982), hlm. 262.
(8) Depag RI, Ensiklopedi Islam…,hlm.150.
(9) Dasuki, Ensiklopedi Islam…, hlm. 264.
(10) Ibid.,
(11) Dasuki, Ensiklopedi Islam..., hlm. 262.
(12) Rahmawati, “Memahami Ajaran Fana, Baqa dan Ittihad dalam Tasawuf”, Al-Munzir Vol 7. No. 2, November 2014, hlm. 78.