Pengertian Dan Komponen Pembelajaran Kontekstual
Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual pada awalnya dikembangkan oleh John Dewey dari pengalaman pembelajaran tradisionalnya. Pada tahun 1918 Dewey merumuskan kurikulum dan metodologi pembelajaran yang berkaitan dengan pengalaman dan minat siswa. Kemudian siswa akan belajar dengan baik jika yang dipelajarinya terkait dengan pengetahuan dan kegiatan yang telah diketahuinya dan terjadi di sekelilingnya.
Kata kontekstual (contextual) berasal dari kata context yang berarti ”hubungan, konteks, suasana dan keadaan (konteks) ” Adapun pengertian CTL menurut Tim Penulis Depdiknas adalah sebagai berikut: Pembelajaran Kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi kehidupan dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection) dan penelitian sebenarnya (authentic assessment).(1)
Dengan konsep tersebut bertujuan agar hasil dari pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa, strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil. Siswa didorong untuk mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dan bagaimana mencapainya. Dengan demikian mereka akan memposisikan dirinya sebagai pihak yang memerlukan bekal untuk hidupnya nanti.
Elaine B. Johnson (Riwayat, 2008) mengatakan pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. Lebih lanjut, Elaine mengatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah suatu sistem pembelajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa.(2)
Sementara itu, Howey R, Keneth, 2001) mendefinisikan CTL sebagai: “Contextual teaching is teaching that enables learning in wich student aploy their academic understanding and abilities in a variety of in-and out of school context to solve simulated or real world problems, both alone and with others” (CTL adalah pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses belajar di mana siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks dalam dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulatif ataupun nyata, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.(3)
Untuk memperkuat pengalaman belajar yang aplikatif bagi siswa, tentu saja diperlukan pembelajaran yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan, mencoba, dan mengalami sendiri (learning to do), dan bahkan tidak hanya sekedar pendengar yang pasif sebagaimana penerima terhadap semua informasi yang disampaikan guru. Dengan demikian pembelajaran kontekstual mengutamakan pada pengetahuan dan pengalaman atau dunia nyata (real world learning), berfikir tingkat tinggi, berpusat pada siswa, siswa aktif, kritis, kreatif, memecahkan masalah, siswa belajar menyenangkan, mengasyikkan, tidak membosankan (joyfull and quantum learning), dan menggunakan berbagai sumber belajar.
Mengenai dengan penjelasan di atas kelompok kami dapat mengambil kesimpulan bahwa pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching Learning (CTL) mengasumsikan bahwa secara natural pikiran mencari makna tentang suatu konteks tertentu yang sesuai dengan situasi nyata. Dan melalui pepaduan materi yang dipelajari dengan pengalaman keseharian siswa akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam.
Kemudian siswa akan mampu menggunakan pengetahuannya untuk menyelesaikan masalah-masalah baru yang dihadapi dalam kehidupannya dan belum pernah dihadapinya dengan peningkatan pengalaman dan pengetahuannya. Siswa diharapkan dapat membangun pengetahuannya yang akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan memadukan materi pelajaran yang telah diterimanya di sekolah.
Dan jika pembelajaran kontekstual ini dikaitkan dengan pembelajaran Pendidikan agama islam itu cukup baik. Namun seorang guru harus dapat memahami tentang model pembelajaran kontekstual dengan baik terlebih dahulu agar dapat membantu seorang guru untuk mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan kehidupan nyata peserta didik. sehingga dapat mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat ataupun lingkungannya.
Karena pembelajaran kontekstual yang sebenarnya sudah lama menjadi perbincangan para guru-guru dikarenakan banyak dari para siswa yang mengedepankan aspek kognitif saja. Seperti halnya lulusan sekolah dengan nilai yang bagus kesulitan mendapatkan pekerjaan, maka dari itu begitu pentingnya Pendidikan kontekstual ini diterapkan agar Ketika setelah lulus sekolah ilmu-ilmu yang didapat dapat diterapkan.
Komponen Pembelajaran Kontekstual
Ada tujuh komponen utama dalam pembelajaran kontekstual, yaitu:
- Konstruktivisme (Constructivisme)
Kontrukstivisme merupakan landasan berpikir pendekatan CTL, yaitu pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperkuat melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak tibatiba.Dalam konteks pembelajaran, konstruktivisme lebih menekankan pada aktivitas siswa dalam menemukan pemahaman mereka sendiri daripada kemampuan menghafal teori-teori yang ada dalam buku pelajaran saja.
Oleh karena itu siswa perlu dikondisikan untuk terbiasa memecahkan masalah, menemukan hal-hal yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan gagasan-gagasan atau ide-ide yang inovatif. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri, karena guru yang bertugas untuk mentransfer ilmu tidak akan mungkin mampu memberikan semua pengetahuan pada siswa. Dengan dasar tersebut, pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” pengetahuan dan bukan hanya sekedar “menerima” pengetahuan. (4)
Dari uraian di atas dalam penelitian ini penulis menyatakan, bahwa fokus utama dari konstruktivisme adalah adanya kreativitas dan keberanian siswa dalam mengkonstruk pengalaman dan pengetahuan baru mereka sendiri, sehingga mereka memiliki tanggung jawab dalam menemukan dan mentransformasikan informasi yang kompleks ke dalam situasi atau kehidupan yang nyata.
Prinsip ini menekankan pada the quality of how to learn rather than the quality of drilling memory, dengan kata lain belajar tidak hanya sekedar menghafal atau mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses dimana siswa sendiri aktif secara mental membangun pengetahuannya yang dilandasi oleh struktur pengetahuan yang dimilikinya. Pada umumnya cara menerapkan komponen ini dalam pembelajaran adalah dengan merancang pembelajaran dalam bentuk siswa bekerja, praktik mengerjakan sesuatu, berlatih secara fisik, menulis karangan, menciptakan ide dan lain sebagainya.(5)
- Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari pembelajaran berbasis CTL, artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencapaian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis.(6) Inkuiri merupakan proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman, dalam proses ini siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis untuk memperoleh seperangkat pengetahuan.
Untuk merealisasikan komponen inkuiri di kelas, terutama dalam proses perencanaan guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal siswa, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya. Siklus inkuiri pada umumnya meliputi: observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hypothesis), pengumpulan data (collecting data), dan penyimpulan (conclusion). Sebagaimana diperjelas oleh pernyataan Moh. Rudiyanto dalam kutipan berikut:(7)
Inquiry is a process of moving from observation to understanding. Inquiry begins with observation from which question arise. Answers to these questions are pursued through a cycle of making predictions, formulating hypotheses, developing way of testing hypotheses, making further observations and creating theories and conceptual model based on upon data and knowledge.
- Bertanya (Questioning)
Semua ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Salah satu faktor psikologi yang mendorong seseorang untuk belajar adalah adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki apa yang ada dalam kehidupan di dunia yang lebih luas. Bertanya merupakan kegiatan yang sangat pokok dan mendasar bagi guru maupun siswa dalam pembelajaran berbasis CTL.
Bertanya merupakan kegiatan utama dari semua aktivitas belajar, karena dengan kegiatan bertanya guru dapat memotivasi bahkan bisa menilai sejauh mana keberanian dan kemampuan berpikir seorang siswa dalam mengkonstruk pengetahuan dan pemahaman yang ingin didapatkannya.(8) Jadi, guru yang hebat adalah guru yang bisa membantu siswanya untuk aktif, mandiri, dan menjadi pelajar yang sukses. Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk mencapai hal tersebut ialah siswa mampu untuk mengajukan pertanyaan yang menarik atau menantang bagidirinya. Seperti terdapat dalam pernyataan salah satu pakar kontekstual Elaine B. Johson berikut ini:
“Lecturer can help students begin the journey to become active, independent, learners. To be successful, independent learners need to be able to ask interesting questions. In order to understand, students must search for meaning, so that they must have opportunity to form and ask questions.”(9)
Sedangkan bagi siswa kegiatan bertanya adalah hal penting yang perlu dilakukan dalam pembelajaran berbasis CTL, yakni untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.(10) Kegiatan bertanya merupakan interaksi majemuk (multiple interactions) antara guru dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan siswa, dan antara siswa dengan orang berpengetahuan lainnya.
Aktivitas-aktivitas tesebut dapat terlihat jelas pada saat diskusi, kegiatan dalam komunitas/masyarakat belajar, bekerja secara berpasangan (work in pairs or in group), dan lain sebagainya. Dalam pembelajaran, kegiatan questioning memiliki banyak sekali kegunaan diantarnya adalah untuk: (11)
- Menggali informasi, baik yang bersifat administrasi maupun akademis
- Mengecek tingkat pemahaman siswa
- Membangkitkan respon siswa
- Mengukur sejauh mana rasa keingintahuan siswa
- Mengetahui hal-hal yang belum diketahui siswa
- Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
- Memberikan stimulus agar siswa bisa memiliki pertanyaan-pertanyaan yang kreatif, menarik dan menantang
- Menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan hakikat belajar sesungguhnyaadalah berani mencoba, kreatif menemukan cara untuk mendapatkan informasi yang ingin didapatkan, lalu bertanya untuk kemudian mendapat pengetahuan yang sebenarnya.
- Kelompok/Masyarakat belajar (Learning Community/Society)
Leo Semenovich Vygotsky, seorang psikolog Rusia, menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman anak banyak ditopang oleh komunikasi dengan orang lain. Begitu juga dalam kehidupan, suatu permasalahan tidak mungkin dapat dipecahkan sendiri, tetapi membutuhkan bantuan dan peran orang lain yakni dalam bentuk kerjasama, saling memberi dan menerima.(12) Learning community/society adalah kelompok manusia yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran, yang membuat mereka bisa saling bertukar ide dan pengetahuan untuk memperdalam pemahaman terhadap pengetahuan yang mereka miliki.(13)
Konsep ini didasarkan pada sebuah gagasan bahwa hasil pembelajaranyang dicapai dengan kerjasama/teamwork akan jauh lebih baik dibandingkan dengan hasil pencapaian individu. Hasil belajar dalam proses learning community dapat diperoleh dengan cara sharing antar teman, antar kelompok; yang sudah tahu memberi tahu kepada yang belum tahu, yang pernah memiliki pengalaman membagikan pengalamannya pada orang lain, juga melalui informasi yang didapat di ruang kelas, luar kelas, keluarga, serta masyarakat di lingkungan sekitar yang merupakan bagian dari komponen masyarakat belajar.(14)
Dalam kelas CTL, learning community terlihat saat siswa belajar secara berkelompok. Pada umumnya siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya heterogen, baik dari segi kemampuan akademisnya, jenis kelamin, asal daerah, dan lain sebagainya. Kegiatan saling belajar bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam berkomunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya dan semua pihak harus merasa bahwa setiap individu memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda-beda yang perlu untuk dipelajari, hal inilah yang menjadi hakekat dari kelompok/masyarakat belajar.(15)
- Pemodelan (Modelling)
Modelling atau pemodelan adalah sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, dengan menyediakan model yang bisa diamati dan ditiru oleh setiap siswa. Misalnya: guru fisika memberikan contoh bagaimana cara mengoperasikan sebuah alat, guru bahasa mengajarkan bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing, guru olahraga memberikan contoh bagaimana cara melempar bola, dan lain sebagianya.
Dalam kelas CTL, kegiatan modelling tidak menjadikan guru sebagai satusatunya model dalam belajar, tetapi dapat juga memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan untuk memperagakan/mendemonstrasikan sesuatu di depan kelas kepada teman-temannya, seorang ahli yand didatangkan di kelas, media belajar dan lain-lain.(16) Belajar dengan cara seperti ini akan membuat hasil pengetahuan yang diperoleh siswa lebih melekat dalam diri siswa, dan mereka akan lebih mudah menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, karena mereka telah melihat dan bisa mengamati suatu contoh/model konkrit dari pengetahuan yang ingin mereka dapatkan.(17)
- Refleksi (Reflection)
Refleksi berarti upaya think back (berpikir ke belakang) atau kegiatan flash back, yakni berpikir tentang apa yang sudah dilakukan di masa lalu, dan berpikir tentang apa yang baru dipelajari dalam sebuah pembelajaranoleh siswa. Dalam hal ini siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.(18) Dengan kata lain, refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.
Dalam proses pembelajaran, guru membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan demikian, siswa akan merasa telah memperoleh sesuatu yang bermakna dan berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya.
Fakta dalam dunia pendidikan selama ini, siswa sering menjalani pembelajaran dengan statis dan tanpa variasi. Jarang sekali mereka diberi kesempatan untuk “diam sejenak” dan berpikir tentang apa yang baru saja mereka lakukan atau pelajari. Hal ini terjadi, salah satunya adalah karena adanya persiapan belajar yang kurang matang, atau tidak adanya optimalisasi waktu belajar karena guru hanya sibuk memberikan informasi dengan berceramah pada siswa. Untuk itu dalam penerapan komponen refleksi pada kegiatan pembelajaran, guru dianjurkan agar memberi dorongan dan kesempatan kepada siswa untuk melakukan refleksi, baik berupa respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang baru diterima, pernyataan langsung tentang pelajaran, kesan dan saran, diskusi, menyampaikan hasil karya, dll. (19)
- Penilaian Sebenarnya (Authentic Assessment)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa gambaran pengetahuan perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar.(20) Gambaran kemajuan belajar siswa, diperlukan sepanjang proses pembelajaran, maka penilaian autentik tidak hanya dilakukan di akhir periode (akhir semester) tetapi dilakukan secara terintegrasi dan secara terus-menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Penilaian yang dilakukan menekankan pada proses pembelajaran, maka data yang terkumpul harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran.
Hal ini memberi isyarat pada para pendidik agar dapat melaksanakan penilaian dengan didukung data yang valid, reliable, dan menyeluruh sehingga hasil yang diperoleh dari penilaian kelas CTL dapat memenuhi sasaran untuk mencapai tujuan pendidikan dengan sebaik-baiknya.(21) Dalam kelas CTL, pada umumnya terdapat empat jenis penilaian autentik, yakni: portofolio, pengukuran kinerja, proyek, dan jawaban tertulis.(22)
Kesimpulan
Pembelajaran Konstektual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi kehidupan dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Masih banyak guru yang menggunakan pembelajaran konvensional. Mereka memiliki peran lebih dominan dibandingkan siswa. Siswa hanya mendengarkan penjelasan dan melakukan tugas dari guru. Salah satu pendekatan yang membantu guru menghubungkan isi mata pelajaran dengan situasi siswa dan memotivasi siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari siswa adalah pembelajaran kontekstual.
Menurut Johnson minimal ada 3 prinsip dalam pembelajaran kontekstual, yaitu: prinsip saling ketergantungan (interpendence), prinsip perbedaan (differentiation), prinsip pengorganisasian diri (self-organization).
Ada tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection) dan penelitian sebenarnya (authentic assessment).
Footnote
(1) Depdiknas, Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual,(Jakarta: Direktorat Sekolah Lanjutan Pertama Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah: 2003), hal.5
(2) Rusman, Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 187
(3) Ibid hal. 190
(4) Mihmidaty Yacub, “Penerapan CTL Dalam Pembelajaran Ilmu Agama Dan Umum Di Pesantren HidayatullahSurabaya” Jurnal dalam majalah NIZAMIA, Volume 8, Nomor 2 (Desember 2005), hal. 178.
(5) Ibid.., hal. 78
(6) Dharma Kesuma, CTL Sebuah Panduan Awal dalam Pengembangan PBM, (Yogyakarta: Rahayasa, 2010), hal. 63
(7) Moh. Rudiyanto, “The Implementation of Contextual Teaching and Learning (CTL) in English Class” JurnalOKARA , Volume II, Nomor 4 (Nopember, 2009) hal. 233
(8) Ibid..,hal. 233
(9) Elaine B.Johnson, CTL Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna (Bandung: Kaifa, 2011) hal. 86
(10) Suryanti dkk, Model-model Pembelajaran Inovatif...hal. 9
(11) Dharma Kesuma, CTL Sebuah Panduan Awal dalam Pengembangan PBM... hal. 65
(12) Ibid.., hal. 65
(13) Moh. Rudiyanto, “The Implementation of Contextual Teaching and Learning (CTL) in English Class”...., hal. 223
(14) Suryanti dkk, Model-model Pembelajaran Inovatif. ...hal. 9
(15) Ibid.., hal. 10
(16) Dharma Kesuma, CTL Sebuah Panduan Awal dalam Pengembangan PBM. hal. 67
(17) Mihmidaty Yacub, “Penerapan CTL Dalam Pembelajaran Ilmu Agama Dan Umum Di Pesantren Hidayatullah Surabaya” Jurnal dalam majalah NIZAMIA, Volume 8, Nomor 2 (Desember 2005), hal. 179
(18) Ibid.., hal. 68
(19) Mihmidaty Yacub, Penerapan CTL Dalam Pembelajaran Ilmu Agama Dan Umum Di Pesantren HidayatullahSurabaya.... hal. 68
(20) Dharma Kesuma, CTL Sebuah Panduan Awal dalam Pengembangan PBM..., hal. 69
(21) Mihmidaty Yacub, Penerapan CTL Dalam Pembelajaran Ilmu Agama Dan Umum Di Pesantren HidayatullahSurabaya..., hal. 180
(22) Elaine B.Johnson, CTL Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. .., hal. 290